Rabu, 04 Juni 2014

Pengaturan Selera Makan Pada Ternak




                                
p                                          
PENGATURAN SELERA MAKAN PADA TERNAK
            Proses makan (feeding) adalah aktivitas yang komplek, yang meliputi mencari makanan, mengamati, pergerakan, aktifitas sensorik, memakan dan mencerna. Dalam saluran pencernaan makanan dan zat-zat makanan diserap dan dimetabolismekan. Semua proses ini dapat mempengaruhi konsumsi makanan dalam jangka pendek (short term basis). Namun demikian perlu diperhatikan bahwa, pada ternak dewasa kebutuhan pokoknya (berat tubuhnya) relatif konstan, walaupun makanan tersedia ad libitum. Dengan demikian konsep jangka pendek-jangka panjang dalam mengontrol konsumsi harus diperhatikan. Walaupun sistem kontrol ini sama pada setiap jenis ternak, namun adae  perbedaan antar spesies yang tergantung pada pada struktur dan fungsi saluran pencernaannya.
            Aktivitas makan pada hewan mamalia dan unggas dikontrol oleh pusat di hipothalamus yang terletak di bagian cerebrum otak. Pada awalnya teori ini bermula dari dua aktivitas organ phaiiusat. Pertama adalah pusat makan (lateral hipothalamus) yang menyebabkan ternak memulai aktivitas makan sampai dibatasi oleh pusat yang kedua yaitu pusat kenyang (vetro medial hipothalamus) yang menerima signal dari tubuh sebagai hasil dari konsumsi makanan. Dengan demikian ternak akan terus makan sampai mendapat signal untuk berhenti dari pusat kenyang. Namun demikian yang berperan dalam pengaturan makan tidak hanya hipothalamus saja, melainkan ada bagian lain dari C NS yang berperan.
            Pengaturan selera makan pada ternak para ahli mengemukakan 4 teori yakni; :
            Teori I : Dikemukakan oleh Brobeck, dkk, yakni teori Termostatik.
Menurut Brobeck : hewan akan makan (lapar) untuk mencegah agar suhu tubuhnya tidak turun (hypothermia) dan berhenti makan (kenyang) untuk mencegah agar suhu tubuh tidak naik terus (hyperthermia). Panas yang timbul dari oksidasi makanan berperan sebagai pembawa berita kepusat syaraf (hypothalamus) untuk menyesuaikan konsumsi makanan. Faktor-faktor yang mendukung teori ini adalah :
1.Pusat lapar dan pusat kenyang peka terhadap perubahan suhu
2.Suhu makan (selera makan) dalam lingkungan yang bersuhu tinggi cenderung menurun
3. Bahan makanan zat makan atau metabulit yang banyak memproduksi panas cenderung cepat meni
pmbulkan rasa (sensasi) kenyang
4. Dalam lingkungan bersuhu tunggi laju sekresi hormon tiroksin yang dihasilkan oleh kelenjer tiroid cenderung menurun
Menurut Anderson dan Lersson (1961) yang disitasi oleh Toha Sutardi bahwa pemanasan daerah hipotalamus dekat pusat juga pada hewan percobaan (kambing) yang sengaja dilaporkan, bila daerah hypotalamus di dinginkan selera makan kambing akan bertambah. Demikian juga pada sapi yang makanannya terletak dalam sebuah tempat yang suhu lingkungannya sengaja di dinginkan, ternyata dapat merangsang nafsu (selera) makan dari sapi tersebut. Rendahnya selera makan dalam suhu lingkungan tinggi dapat berpengaruh buruk terhadap penampilan produksi ternak. Setiap hewan mempunyai suhu keritis rendah, di daerah tropis, penampilan produksinya tidak akan setinggi di daerah dingin yang dimaksud dengan suhu kritis adalah batas suhu terendah dari kisaran suhu termonetral. Pada ternak sapi suhu termonetral adalah 18 – 22 oC. pada domba yang dicukur bulunya 21 – 31 oC pada kambing 20 – 28 oC dan domba (secara umum) 21 – 25 oC.
       Teori II : Teori Chemostatic (Glukastatik) dikemukakan oleh Mayer (1952, 1955). Menyatakan bahwa metabolit dalam darah berperan sebagai pembawa rangsangan kepusat syaraf untuk mengatur selera makan (konsumsi makanan).
Pada hipothalamus terdapat reseptor glukosa yang peka terhadap kadarglukosa darah, sehingga nafsu
makan erat hubungannya dengan kadar glukosa darah.
Beberapa alasan Mayer untuk mengemukakan teori glukostatik :
            (1). Sebagian besar sumber energi dari bahan makanan adalah berasal dari karbohidrat, dan karbohidrat ini akhirnya dirombakmenjadi glukosa dalam tubuh ternak (dimetabolisasikan)            (2). Cadangan glukosa dalam tubuh (dalam bentuk glikogen) yang pertama-tama dimanfaatkan bila tubuh kekurangan energi.
       (3). Semua  nsel-sel dalam tubuh mampu untuk memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi bagi tubuh
        (4). Glukosa merupakan regulator (pengatur) dalam metabolisme protein dan lemak Teori glukostatik kurang dapat diterima oleh ahli nutrisi ruminansia karena:
                   (1). Setelah makan kadar glukosa darah ruminansia tidak banyak berubah
                   (2). Perbedaan kadar glukosa darah antara arteri dengan darah pada yang kurang dari 200 mikrogram/liter. Pemakaian glukosa oleh tenunan pada ruminansia amat kecil
                   (3). Penyuntikan insulin kedalam darah hanya sedikit merubah kadar glukosa darah (kurang dari 200 mikrogram/liter)
                   (4). Penambahan (infusi) glukosa kedalam darah tidak merubah selera makan pada ternak ruminansia.
       Teori III : yakni teori Lipostatik yang dikemukakan oleh Batas Etamal (1955)
Menyatakan bahwa selera makan dipengaruhi oleh lemak tubuh (pool lemak tubuh mempunyai korelasi negatif dengan selera makan). Bila lemak tubuh terkurang (berkurang) maka selera makan akan naik. Dalam banyak kejadian teori lipostatik ini nampaknya dapat diterapkan pada ternak ruminansia.  Misalnya : konsumsi makanan pada domba laktasi umumnya lebih tinggi dari pada domba kering (tidak menghasilkan susu). Teori keempat : yakni Teori Aminostatik, teori ini dikemukakan oleh Mellinkoff Menyatakan bahwa selera maka ditentukan oleh konsentrasi asam amino dalam plasma darah. Menurut teori ini konsumsi protein tinggi cepat menimbulkan sensasi kenyang karena konsumsi protein tinggi akan meningkatkan kadar asam amino dalam plasma darah (PAA), sehingga kenaikkan kadar PAA akan menurunkan selera makan. Teori ini kemudian diperbaiki oleh Happer (1964), yang menyatakan bahwa proses penurunan selera makan karena kenaikan kadar PAA hanyalah suatu proses adaptasi saja, karena kalau darah sudah jenuh dengan zat-zat makanan, maka bukan hanya PAA melainkan zat makanan lain ini juga dapat menurunkan selera makan. skema pengaturan selera makan pada ternak:
Non metabolik
            Dengan adanya makanan dalam alat pencernaan, akan merangsang sekresi dari cairan pencernaan (gastro intetinal Juice).  Bila tekanan osmotik tinggi maka kadar air dari digesta akan meningkat, sehingga dinding lambung (alat pencernaan) akan mengembang (distention).  Zat-zat makanan berbentuk molekul kecil (asam amino, gula dan garam) cenderung untuk meningkatkan (meninggikan) tekanan osmotik, atau melekul kecil ini dapat meningkatkan Distensi darialat pencernaan (terutama lambung) oleh cairan atau gas, sehingga cepat menimbulkan sensasi kenyang.  Zat makanan murni (campuran asam amino atau gula) lebih cepat menimbulkan sensasi kenyang, dibandingkan dengan protein atau karbohidrat alami. Bagian-bagian otak yang ikut serta dalam pengaturan selera makan adalah:
1.      Neo cortex : Peranannya secara fisiologis sulit untuk diterangkan.
2.      Limbic System : Berperan sebagai pusat diskriminasi atau seleksi terhadap bahan makanan (pakan), jika pusat ini dirusak, maka selera makan ternak akan meningkat, akan tetapi peningatannya itu abnormal, yaitu ternak akan kehilangan kemampuan untuk membedakan jenis makanan yang dimakannya (apa itu bahan makanan atau tidak). 
3.      Lobus Pyriform dan Amygdaloid : peranannya mempengaruhi pusat lapar dan pusat kenyang untuk mengubah selera makan (konsumsi).
4.      Bagian Dorsel Hypothalamus : merupakan pusat mengaturan selera makan secara Thermostatik.
5.      Bagian Lateral Hypothalamus : Berperan sebagai pusat lapar (Hunger Centre). 
6.      Bagian Ventro-Medial Hypothalamus : Berperan sebagai pusat kenyang (Satiety Centre).
7.      Reflek makan (Feeding Reflexes) : Berperan untuk membantu konsumsi makanan melalui kerja panca indra.  Melihat tipe perangsangnya reflek makanan ini terdiri dari : Visual, olfaktoris (penciuman), gustatoris (citra rasa), Auditoris (pendengaran), tactile (sentuhan), dan En Tero Ceptive (melalui Receptor dalam alat pencernaan).  Konsumsi makanan mungkin sekali disaring oleh ternak melalui tiga tingkatan, yakni:
                           1. Panca indera
            2. Alat pencernaan
            3. Chemostatic dan thermostatic (setelah diserap dan dimetabolisasikan). 
              Bahan-bahan makanan yang berbahaya bagi kesehatan atau bernilai gizi rendah mungkin sekali akan ditolak (tidak dimakan oleh ternak), juga bila bau dan rasa makanan yang tidak disukai tidak akan dimakan oleh ternak.  Kontrol konsumsi pada ternak ruminasia pada umumnya dilakukan secara Distention (distensi) dan chemostatik.  Distention ; kontrol distention ini bekerja karena adanya desakan atau tekanan yang diterima oleh dinding rumen, karena adanya makanan (ingesta) dalam rumen atau karena penuhnya rumen (bulk) akibatnya ternak akan berhenti makanan.  Kontrol ini bekerja bila ternak banyak mendapat makanan yang berkualitas rendah yaitu makanan hijauan dan jerami. Akibat banyak memakan makanan yang berkualitas rendah ini maka saliva (air ludah) akan banyak diproduksi dan juga ternak akan banya membutuhkan air minum, sehingga makanan yang dimakan akan sedikit, disamping itu produksi gas (CO2 + CH4) tinggi ditambah dengan adanya bahan kering (bolus) dan cairan dalam rumen maka volume rumen akan cepat jadi penuh, sehingga terjadilah desakan pada dinding rumen (rumen jadi mengembang), akibatnya hewan akan berhenti makan, tapi kebutuhan energi bagi ternak tersebut belum terpenuhi (belum mencukupi). 
             Kontrol Chemostatik
                          Kontrol ini ditentukan oleh jumlah produk fermentatif (VFA) dalam rumen dan jumlah glukosa dalam darah.  Umumnya kontrol ini bekerja bila ternak banyak mendapat makanan yang berkualitas tinggi yakni makanan konsentrat.  Dengan memakan makanan yang berkualitas tinggi (konsentrat) maka kebutuhan ternak akan cepat terpenuhi energi dan bahan kering, akibatnya ternak akan berhenti makan.  Faktor lain yang mempengaruhi kebiasaan makan adalah : 
1. Waktu : bila waktu terbatas maka ternak akan sedikit mendapat makanan dan banyak ruminasi.
2. Bentuk fisik makanan : bila makanan kasar maka ternak akan banyak ruminansi.
3. Frekuensi pemberian makanan : pemberian makanan yang lebih sering adalah lebih baik karena akan lebih banyak mastikasi (penggunaan) dan waktu untuk ruminansi akan berkurang. 
Pedoman Dan Teknis Pengolahan Atau Pembuatan
            Menurut Kartadisastra (1997) Pedoman pada dasarnya adalah sesuatu hal yang bisa dijadikan untuk pegangan atau tuntunan. Untuk mengelola atau membuat pakan( ransum ) dalam rangka pengaturan selera makan untuk penghasilan produksi yang bagus perlu mempehatikan ;
Kebutuhan Pakan
            Kebutuhan ternak terhadap pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Jumlah kebutuhan nutrisi setiap harinya sangat bergantung pada jenis ternak, umur, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) dan lingkungan tempat hidupnya (temperatur, kelembaban nisbi udara) serta bobot badannya. Maka, setiap ekor ternak yang berbeda kondisinya membutuhkan pakan yang berbeda pula. Rekomendasi yang diberikan oleh Badan Penelitian Internasional (National Research Council) mengenai standardisasi kebutuhan ternak terhadap pakan dinyatakan dengan angka-angka kebutuhan nutrisi ternak ruminansia. Rekomendasi tersebut dapat digunakan sebagai patokan untuk menentukan kebutuhan nutrisi ternak ruminansia, yang akan dipenuhi oleh bahan-bahan pakan yang sesuai/bahan-bahan pakan yang mudah diperoleh di lapangan.
Konsumsi Pakan
        Ternak ruminansia yang normal (tidak dalam keadaan sakit/sedang berproduksi), mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang terbatas sesuai dengan kebutuhannya untuk mencukupi hidup pokok. Kemudian sejalan dengan pertumbuhan, perkembangan kondisi serta tingkat produksi yang dihasilkannya, konsumsi pakannya pun akan meningkat pula. Tinggi rendah konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan) dan faktor internal (kondisi ternak itu sendiri).
      1.   Temperatur Lingkungan
Ternak ruminansia dalam kehidupannya menghendaki temperatur lingkungan yang sesuai dengan kehidupannya, baik dalam keadaan sedang berproduksi maupun tidak. Kondisi lingkungan tersebut sangat bervariasi dan erat kaitannya dengan kondisi ternak yang bersangkutan yang meliputi jenis ternak, umur, tingkat kegemukan, bobot badan, keadaan penutup tubuh (kulit, bulu), tingkat produksi dan tingkat kehilangan panas tubuhnya akibat pengaruh lingkungan. Apabila terjadi perubahan kondisi lingkungan hidupnya, maka akan terjadi pula perubahan konsumsi pakannya. Konsumsi pakan ternak biasanya menurun sejalan dengan kenaikan temperatur lingkungan. Makin tinggi temperatur lingkungan hidupnya, maka tubuh ternak akan terjadi kelebihan panas, sehingga kebutuhan terhadap pakan akan turun. Sebaliknya, pada temperatur lingkungan yang lebih rendah, ternak akan membutuhkan pakan karena ternak membutuhkan tambahan panas. Pengaturan panas tubuh dan pembuangannya pada keadaan kelebihan panas dilakukan ternak dengan cara radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi.
      2.   Palatabilitas
          Palatabilitas merupakan sifat performansi bahan-bahan pakan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki oleh bahan-bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti kenampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan temperaturnya. Hal inilah yang menumbuhkan daya tarik dan merangsang ternak untuk mengkonsumsinya. Ternak ruminansia lebih menyukai pakan rasa manis dan hambar daripada asin/pahit. Mereka juga lebih menyukai rumput segar bertekstur baik dan mengandung unsur nitrogen (N) dan fosfor (P) lebih tinggi
      3.   Selera
        Selera sangat bersifat internal, tetapi erat kaitannya dengan keadaan “lapar”. Pada ternak ruminansia, selera merangsang pusat saraf (hyphotalamus) yang menstimulasi keadaan lapar. Ternak akan berusaha mengatasi kondisi ini dengan cara mengkonsumsi pakan. Dalam hal ini, kadang-kadang terjadi kelebihan konsumsi (overat) yang membahayakan ternak itu sendiri.
      4.   Status fisiologi
Status fisiologi ternak ruminansia seperti umur, jenis kelamin, kondisi tubuh (misalnya bunting atau dalam keadaan sakit) sangat mempengaruhi konsumsi pakannya. 
5.   Konsentrasi Nutrisi
Konsentrasi nutrisi yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan adalah konsentrasi energi yang terkandung di dalam pakan. Konsentrasi energi pakan ini berbanding terbalik dengan tingkat konsumsinya. Makin tinggi konsentrasi energi di dalam pakan, maka jumlah konsumsinya akan menurun. Sebaliknya, konsumsi pakan akan meningkat jika konsentrasi energi yang dikandung pakan rendah.
      6.   Bentuk Pakan
                  Ternak ruminansia lebih menyukai pakan bentuk butiran (hijauan yang dibuat pellet atau dipotong) daripada hijauan yang diberikan seutuhnya. Hal ini berkaitan erat dengan ukuran partikel yang lebih mudah dikonsumsi dan dicerna. Oleh karena itu, rumput yang diberikan sebaiknya dipotong-potong menjadi partikel yang lebih kecil dengan ukuran 3-5 cm.
      7.   Bobot Tubuh
   Bobot tubuh ternak berbanding lurus dengan tingkat konsumsi pakannya Makin tinggi bobot tubuh, makin tinggi pula tingkat konsumsi terhadap pakan. Meskipun demikian, kita perlu mengetahui satuan keseragaman berat badan ternak yang sangat bervariasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengestimasi berat badannya, kemudian dikonversikan menjadi “berat badan metabolis” yang merupakan bobot tubuh ternak tersebut. Berat badan ternak dapat diketahui dengan alat timbang. Dalam praktek di lapangan, berat badan ternak dapat diukur dengan cara mengukur panjang badan dan lingkar dadanya. Kemudian berat badan diukur dengan menggunakan formula: Berat badan = Panjang badan (inci) x Lingkar Dada2 (inci) / 661. Berat badan metabolis (bobot tubuh) dapat dihitung dengan cara meningkatkan berat badan dengan nilai 0,75.  Berat Badan Metabolis = (Berat Badan)0,75

8.   Produksi
                          Ternak ruminansia, produksi dapat berupa pertambahan berat badan (ternak potong), air susu (ternak perah), tenaga (ternak kerja) atau kulit dan bulu/wol. Makin tinggi produk yang dihasilkan, makin tinggi pula kebutuhannya terhadap pakan. Apabila jumlah pakan yang dikonsumsi (disediakan) lebih rendah daripada kebutuhannya, ternak akan kehilangan berat badannya (terutama selama masa puncak produksi) di samping performansi produksinya tidak optimal.
                       Korelasi antara ketiga komponen tersebut yaitu bahan pakan, proses pengolahan bahan pakan serta pengaturan selera makan yang diantaranya kualitas bahan pakan, frekuensi pemberian pakan dan penambahan bahan konsentrat seperti molases atau sejenisnya akan sangat mempengaruhi pola dan selera ternak untuk memakan makananya. Pada umumnya petani memberikan, mengatur dan mengelola bahan pakan jadi untuk ternak adalah untuk menghasilkan produksi yang baik (pratomo,1986).







 

i